Aku membayangkan diri, sedang berdiri dalam larut lamunan di tepian laut. Bukan di atas bebatuan karang menjulang ke permurkaan. Bukan pula di pinggiran bibir pantai berpasir putih. Karena setahuku aku belum pernah sama sekali menginjakkan kakiku di pantai. Atau mungkin pernah saat kecil dulu. Aku juga tak ingin bertanya pada bapak-mamakku di rumah. Menanyakan "Apakah aku pernah pergi ke pantai? Dulu, saat kecil?" Aku rasa pertanyaan itu tidak ada pentingnya sama sekali dipertanyakan. Tidak berguna dan tentu cukup memalukan juga kedengarannya. Sepertinya aku memang tak bisa mengingat segala sesuatu dengan baik. Aku sadar, bahwa aku memang sudah terlalu banyak melupakan kisah hidup dari waktu terdahulu. Jangankan ingatan tentang pergi ke pantai. Rasanya, untuk sekadar berenang pun aku tak tahu lagi caranya. Aku sudah benar-benar sudah terlupa hampir dari segalanya. Bukan hanya lupa, nampaknya aku juga mulai dilupakan oleh dunia ini, dan oleh orang-orang di mana pun mereka berada. Apakah semesta sedang berusaha mengabaikan manusia-manusia pelupa seperti aku ini? Mudah-mudahan saja tidak. Sebab aku masih sedikit punya kenangan ingatan, yang aku sembunyikan di tempat yang aku anggap cukup aman. Aku menyelipkannya bersama seikat surat ke dalam botol kaca kecil, berwarna biru safir. Awalnya aku berencana membuangnya saja ke tengah-tengah lautan, namun aku urungkan niat itu. Sebab dalam perkiraan di benakku, bisa saja dalam satu masa botol kaca itu ditemukan orang lalu mengambil keuntungan dari apa yang aku masukkan kedalamnya. Pikiranku terlalu riuh dan sedang bercabang memang. Semua akan tampak aneh juga mencurigakan. Jadi daripada itu, aku bersiasat pada diriku sendiri untuk mengamankan botol kaca itu di tempat rahasia. Di sela-sela itu keadaan gamang itu. Aku menatap sayu terdiam di atas dermaga lama di pinggir laut. Bersisian pada deretan kapal kayu yang menua dihabisi masanya. Aku berharap ini adalah pantai, tapi bukankah kau sudah aku beri tahu sejak sebelumnya, bahwa tak ada pantai hari ini.
Saat benar-benar sadar aku bisa saja sedikit malu dengan yang aku peruntukkan padamu tapi jika benar-benar harus jujur aku ingin selalu tak sadar dengan yang aku rasakan agar bisa memberikan sumbangsihku padamu meski itu hal yang mungkin biasa, atau super-duper-biasa atau tak ada istmewanya sama sekali bagimu tak masalah bagiku, yang penting aku melakukannya tulus untukmu.
Komentar
Posting Komentar
attention : jangan lupa, do'a dulu sebelum komen !