Langsung ke konten utama

Aku Akan Terus Menulis



Beberapa waktu lalu, bahkan sekarang ini, seringkali aku terpikir untuk sesering mungkin menulis yang panjang. Entah itu opini, cerita orang lain, cerita fiksi yang masih terseok-seok aku pelajari, atau menulis hal personal seperti dulu. Ya rasanya sudah cukup lama aku tak menulis berbagai ketidakpentingan yang aku anggap penting itu.

Namun kadangkala, aku seperti merasakan ketidakberdayaan yang sebenarnya bisa saja tepis itu. Aku beranggapan bahwa untuk apa aku asik menulis berpanjang-panjang ria jika tak ada yang sudih merelakan sekejap waktu membaca tulisanku selain aku seorang.

Ini sebenarnya sungguh terasa lucu dan menggelikan bagiku. Kenapa racun pesimistis itu justru datang saat ini? Ketika aku sedang berusaha menggiati dan memperjuangkanya sebaik mungkin. Kenapa tidak dari dulu saja? Tapi setelah aku pikir lagi, mungkin aku kurang serius, kurang rajin, kurang fokus, kurang belajar, kurang berjuang, kurang bersemangat lebih saja.

Dari yang aku sadari, mungkin pesimis itu muncul sebagai pengingat diri dari segala macam halang-rintang yang tersingkap di sekitaranku. Mungkin ini serupa pilihan persimpangan di jalan hidupku. Apakah daripada aku berlelah-lelah diri dan terus melangkah maju meski tertatih bahkan jatuh tersungkur. Atau malah berpasrah diri, mengaku kalah pada kenyataan dunia, dan beralih melakukan hal lain yang bisa menjauhkanku dari hal-hal menyenangkan seperti menulis ini.

Sepertinya jawaban untuk itu sudah jelas. Tentu saja aku akan merasa masa bodo, dan lebih memilih bergerak terus, menyusuri kebimbangan dalam menuju hakikat hidup ini. Walaupun tiada satu orang manusia yang membacanya, dan meski jikapun ada satu orang itu tak lain adalah aku sendiri. Bagiku, aku sudah cukup senang dan berbahagia dengan bisa terus menulis.

Ya jelas saja aku akan menulis selamanya. Bukan untuk terkenal karena tulisanku dibaca orang lain. Melainkan karena ingin terus hidup dalam kumpulan aksara yang terangkai akibat jari-jemarku yang sudah rela berlelah-lelah untuk menulis. Mengingat kutipan terkenal dari Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"

Meski belum sepenuhnya membaca semua karya Pram, aku akan terus percaya dan memegang teguh perkataan hebat beliau itu, lalu mengamininya untuk kemudian mengamalkannya sebagai panji dalam membaktikan diri untuk terus berkarya. Tak peduli apa, dibaca pun tidak dibaca, aku akan terus menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu

Saat benar-benar sadar aku bisa saja sedikit malu dengan yang aku peruntukkan padamu tapi jika benar-benar harus jujur aku ingin selalu tak sadar dengan yang aku rasakan agar bisa memberikan sumbangsihku padamu meski itu hal yang mungkin biasa, atau super-duper-biasa atau tak ada istmewanya sama sekali bagimu tak masalah bagiku,  yang penting aku melakukannya tulus untukmu.

Panjang Umur Hal-hal Baik

Beberapa waktu lalu, segenap kawan-kawan baik saya di @komunitasjarimenari baru saja merayakan 3 tahunan perkumpulan dengan nafas literasi ini dibentuk. Namun sayangnya saya tak sempat ikut berpartisipasi dan bersuka-ria bersama mereka dalam kegiatan malam keakraban di kawasan komplek pecandian Muaro Jambi tempo lalu, sebab mesti mengurusi soal kerjaan. Padahal waktu-waktu seperti inilah yang sesungguhnya baik sekali untuk kami bisa membaur bersama dalam keakraban, yang juga berguna dalam mengukuhkan mental kami semua dalam berkegiatan, yang mampu mengalirkan banyak ide dan gagasan cemerlang agar bisa berguna untuk program kerja kami kedepannya. Tapi memang waktu yang berlalu tak akan pernah bisa berulang dan penyesalan pun tiada berguna sebenarnya. Namun walaupun begitu, kedepannya saya berharap semoga tekad dan cita-cita kami dalam berbagi semangat literasi tidak luntur begitu saja meski kadang kala ada pasang surut yang membentang di antara kami. ...

Sosok Inspiratif dari Desa Suak Labu

Beberapa waktu lalu saya sempat mengunjungi seorang ibu guru sekaligus kepala sekolah yang baik hati, Diyan Mahyuni namanya. Sosok ibu inspiratif yang saya temui pertama kali ketika saya dan teman sekelompok saya melaksanakan agenda tahunan mahasiswa tingkat akhir ditempat saya belajar beberapa tahun lalu, di Desa Suak Labu. Yakni dimana kami menjalani serangkaian proses demi proses belajar, baik yang terprogram maupun tak terprogram dalam lingkup kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditugas kan oleh almamater tempat kami menimba ilmu saat itu. Dan saat saya dan beberapa teman sekelompok KKN dulu, dengan sengaja menyempatkan diri untuk bisa menghadiri undangan perhelatan acara perpisahan yang akan dilangsungkan didesa itu. Seketika ingatanku terlempar pada kenangan lalu dimana dulu di sana. Di desa itu pernah menjadi rumah kami belajar, bertemu dan menemukan kawan-kawan baik serta kerabat baru. Tanah dimana kami terkesan akan begitu banyak orang-orang hebat yang jarang, atau mungk...