Langsung ke konten utama

Menghidupi Mimpi-mimpi Kita




Di dunia ini, waktu terindah itu tak melulu soal jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi juga kala tiba saatnya waktu gajian. Dan dalam suasana syahdu karena baru saja gajian seperti sekarang ini. Hal yang selalu tak pernah lupa datang ke dalam kepalaku adalah ingin segera pergi ke toko buku. Entah itu ingin membeli satu atau beberapa buku, ataupun hanya sekadar cucimata saja.

Pernah suatu kali di sebuah toko buku, saat sedang sibuk memilih buku yang dalam perkiraanku akan asik dan seru untuk dibaca. Kebetulan, waktu itu aku sedang bersama seorang teman yang memang berencana membeli buku.

Dalam keasikan menelusuri rak demi rak buku, seperti biasa pula kami membicarakan hal-hal seputar buku yang ingin kami beli masing-masing, semacam sedang menceritakan sedikit deskripsi singkat dari buku tersebut. Lalu, di sela-sela percakapan itu, sempat pula kami menyikapi dengan bingung dan lucu tentang harga buku yang mulai naik.

Di satu sisi kami tidak mengeluh karena cukup sadar bahwa memang keadaan ekonomi dunia saat ini naik-turun, tak terkendali. Dan lagi pula, sebuah karya berdasarkan ide, imajinasi, pemikiran, dan teori yang diwujudkan dalam bentuk buku atau apapun, syah-syah saja jika dihargai dengan selayaknya. Jika karya itu bagus dan sangat bermanfaat, tak ada salahnya dihargai dengan pantas. Karena tentu si pembuat karya, berjuang keras juga untuk membuat ide dan gagasannya itu menjadi nyata, otomatis ia memerlukan bentuk apresiasi yang tak hanya lewat pujian saja, tapi juga pendapatan lebih untuk bertahan menghidupi diri, keluarga, dan siapapun yang dicintainya, juga demi menghidupi karya-karyanya.

Namun di sisi lain, tanpa sadar kami juga merasa begitu berjuang keras untuk bisa mendapatkan apa-apa yang ingin kami miliki, dalam hal ini buku-buku yang kami dambakan sebelumnya. Sampai-sampai harus merelakan dana makan sehari-hari yang harus ditekan lagi. Atau mengacuhkan keinginan membeli pakaian, dll. Semua usaha dilakukan agar bisa berhemat demi tercapainya hasrat membeli buku-buku impian yang menyihir dan membutakan diri itu. Ya tiap-tiap orang memang punya ketertarikan sendiri. Lain orang, lain pula obsesinya. Kalau salah satu obsesiku adalah buku, obsesi orang lain bisa jadi beda. Ada yang mainan, pakaian, makanan, kendaraan, perlengkapan, peralatan, tempat tujuan, atau apapun itu.

Sesaat terbersit di dalam pikiran bahwa, tujuan kita bekerja saat ini bukan cuma untuk bisa makan lalu bertahan hidup, tapi juga untuk menghidupi mimpi-mimpi kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu

Saat benar-benar sadar aku bisa saja sedikit malu dengan yang aku peruntukkan padamu tapi jika benar-benar harus jujur aku ingin selalu tak sadar dengan yang aku rasakan agar bisa memberikan sumbangsihku padamu meski itu hal yang mungkin biasa, atau super-duper-biasa atau tak ada istmewanya sama sekali bagimu tak masalah bagiku,  yang penting aku melakukannya tulus untukmu.

Panjang Umur Hal-hal Baik

Beberapa waktu lalu, segenap kawan-kawan baik saya di @komunitasjarimenari baru saja merayakan 3 tahunan perkumpulan dengan nafas literasi ini dibentuk. Namun sayangnya saya tak sempat ikut berpartisipasi dan bersuka-ria bersama mereka dalam kegiatan malam keakraban di kawasan komplek pecandian Muaro Jambi tempo lalu, sebab mesti mengurusi soal kerjaan. Padahal waktu-waktu seperti inilah yang sesungguhnya baik sekali untuk kami bisa membaur bersama dalam keakraban, yang juga berguna dalam mengukuhkan mental kami semua dalam berkegiatan, yang mampu mengalirkan banyak ide dan gagasan cemerlang agar bisa berguna untuk program kerja kami kedepannya. Tapi memang waktu yang berlalu tak akan pernah bisa berulang dan penyesalan pun tiada berguna sebenarnya. Namun walaupun begitu, kedepannya saya berharap semoga tekad dan cita-cita kami dalam berbagi semangat literasi tidak luntur begitu saja meski kadang kala ada pasang surut yang membentang di antara kami. ...

Sosok Inspiratif dari Desa Suak Labu

Beberapa waktu lalu saya sempat mengunjungi seorang ibu guru sekaligus kepala sekolah yang baik hati, Diyan Mahyuni namanya. Sosok ibu inspiratif yang saya temui pertama kali ketika saya dan teman sekelompok saya melaksanakan agenda tahunan mahasiswa tingkat akhir ditempat saya belajar beberapa tahun lalu, di Desa Suak Labu. Yakni dimana kami menjalani serangkaian proses demi proses belajar, baik yang terprogram maupun tak terprogram dalam lingkup kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditugas kan oleh almamater tempat kami menimba ilmu saat itu. Dan saat saya dan beberapa teman sekelompok KKN dulu, dengan sengaja menyempatkan diri untuk bisa menghadiri undangan perhelatan acara perpisahan yang akan dilangsungkan didesa itu. Seketika ingatanku terlempar pada kenangan lalu dimana dulu di sana. Di desa itu pernah menjadi rumah kami belajar, bertemu dan menemukan kawan-kawan baik serta kerabat baru. Tanah dimana kami terkesan akan begitu banyak orang-orang hebat yang jarang, atau mungk...