Memang sudah suratan takdir dari tuhan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bahkan mungkin juga di akhirat sana, diciptakan secara berpasang-pasangan, semua demi keseimbangan. Saling iai, saling melengkapi, saling berbagi arti. Ada baik-buruk, pria-wanita, panas-dingin, panjang pendek, tinggi-rendah, besar-kecil, hitam-putih, pahala-dosa, malaikat-iblis, surga-neraka, dan tentu masih ada banyak contoh lainnya, tanpa terkecuali kaya-miskin juga.
Tapi di antara semua yang berpasangan, kaya-miskin ini sepertinya paling sering jadi sering jadi pembahasan dimana-mana. Di Indonesia, di Amerika, di Afrika, di Singapura, di China, di Eropa, dan di semua negara. Mungkin hanya negara penghasil minyak di timur tengah saja yang yang tak terlalu bergema kabarnya.
Jangankan mengurusi segala rupa miskin-kayanya bangsa di luar negeri sana, di Indonesia saja perihal kaya-miskin selalu jadi polemik hangat yang tak berkesudahan dibicarakan.
Ketika si kaya jarang memberi bantuan kepada si miskin atau tidak pernah memberi pun walau hanya sekali saja, sudah pasti hal tersebut akan jadi buah bibir yang secara sadis menistakan sumpah serapah. Lalu ketika si kaya rajin memberi namun dengan terlalu menampakkan diri, jangan salahkan jika citranya akan mendapati sorotan berlebih tak lupa caci-maki yang menghina-dina pula dari kepala demi kepala.
Dan sama halnya saat si miskin hanya dipandang sebagai peminta-minta yang menjual iba, lupa daratan, dan tak punya malu di wajah, sungguh kasihan sekali hidupnya. Atau pada ketika si miskin yang sadar diri dengan segala keterbatasan, ijazah pendidikan tak punya, keterampilan entah apa, percaya diri pun sama nihilnya, modal apalagi, lowongan kerja tiada satu pun tersedia. Namanya juga si miskin, terpuruk adalah kasur pembaringan, merana dan menangis adalah teman setia di setiap waktiu, pilu memang. Tidak, tidak, ini lebih dari itu, ini tragis sekali.
Mau bilang apa? Kita tahu sama tahu saja adanya. Ttak percaya? Coba buka mata, lalu lihat sekitar. Ah masa tak nampak? Tak mugkin tak ada. Banyak itu, perhatikan lagi, mungkin kurang jeli. Atau mungkin kita yang sudah lupa sekitar dan lupa diri.
#bukanseptemberwrite #gagalmenulis30hari #menulis #kayadanmiskin
Tapi di antara semua yang berpasangan, kaya-miskin ini sepertinya paling sering jadi sering jadi pembahasan dimana-mana. Di Indonesia, di Amerika, di Afrika, di Singapura, di China, di Eropa, dan di semua negara. Mungkin hanya negara penghasil minyak di timur tengah saja yang yang tak terlalu bergema kabarnya.
Jangankan mengurusi segala rupa miskin-kayanya bangsa di luar negeri sana, di Indonesia saja perihal kaya-miskin selalu jadi polemik hangat yang tak berkesudahan dibicarakan.
Ketika si kaya jarang memberi bantuan kepada si miskin atau tidak pernah memberi pun walau hanya sekali saja, sudah pasti hal tersebut akan jadi buah bibir yang secara sadis menistakan sumpah serapah. Lalu ketika si kaya rajin memberi namun dengan terlalu menampakkan diri, jangan salahkan jika citranya akan mendapati sorotan berlebih tak lupa caci-maki yang menghina-dina pula dari kepala demi kepala.
Dan sama halnya saat si miskin hanya dipandang sebagai peminta-minta yang menjual iba, lupa daratan, dan tak punya malu di wajah, sungguh kasihan sekali hidupnya. Atau pada ketika si miskin yang sadar diri dengan segala keterbatasan, ijazah pendidikan tak punya, keterampilan entah apa, percaya diri pun sama nihilnya, modal apalagi, lowongan kerja tiada satu pun tersedia. Namanya juga si miskin, terpuruk adalah kasur pembaringan, merana dan menangis adalah teman setia di setiap waktiu, pilu memang. Tidak, tidak, ini lebih dari itu, ini tragis sekali.
Mau bilang apa? Kita tahu sama tahu saja adanya. Ttak percaya? Coba buka mata, lalu lihat sekitar. Ah masa tak nampak? Tak mugkin tak ada. Banyak itu, perhatikan lagi, mungkin kurang jeli. Atau mungkin kita yang sudah lupa sekitar dan lupa diri.
#bukanseptemberwrite #gagalmenulis30hari #menulis #kayadanmiskin
Komentar
Posting Komentar
attention : jangan lupa, do'a dulu sebelum komen !