Langsung ke konten utama

Mana Demokrasinya?

Sekarang ini, ketika kita sudah memutuskan pilihan untuk hadir di internet dengan berekspresi, berkarya, berniaga, belajar, dan kegiatan lainnya di sosial media. Sebenarnya saat itu juga, kita harusnya sadar dan siap dengan segala hal dan kemungkinan atas respon dari apa yang kita lakukan dalam berinternet, khususnya bersosial media. Baik itu respon dari orang-orang yang pro dan juga yang kontra terhadap kita.

Di sinilah sebenarnya kita dituntut cermat dan sigap menyikapi respon-respon yang ada. Salah-salah respon berupa perbedaan pendapat, bisa jadi akan memicu terjadinya debat kusir yang tak tentu ujung-pangkalnya. Yang semakin kesini semakin tak jelas mana benar dan mana salah, karena semua pihak tetap bersikeras mempertahankan pendiriannya, meski dengan argumen yang meragukan dan sering kali ngawur.

Dalam keadaan seperti ini, ketika kedua belah pihak yang berbeda pendapat ini sama-sama ngotot atas apa yang mereka yakini benar, bukan tak mungkin hal-hal buruk bisa terjadi begitu saja. Bukannya bermaksud menakut-nakuti, tapi coba lihat dan amati sekitar kita. Selama ini, mungkin ada banyak sekali perbedaan pendapat, lalu ketika memanas berubah jadi perdebatan panjang, dan yang paling sial bisa saja akan berakhir jadi perkelahian.

Tentu saja kita semua tak menginginkan hal buruk terjadi apalagi sampai berkelahi. Namun kembali ketitik temunya, ini terjadi karena semua orang sering merasa dirinya paling benar sendiri. Yang satu merasa apa yang orang lain lakukan salah dan yang ia lakukan memiliki nilai kebenaran dibanding orang lain, begitupula sebaliknya.

Tak ada masalah sebenarnya jika perbedaan pendapat dijalani dengan berdebat, toh berbeda pendapat itu wajar dan manusiawi kan? Tapi dengan syarat berdebat dengan sehat, sesuai porsinya masing-masing. Yang lebih mengutamakan argumen dengan logika atau penjelasan teori yang ada, daripada mengikuti nafsu dan perasaan yang terbawa amarah.

Jika begini, bagaimana azas demokrasi bisa hidup dengan baik dalam masyarakat kalau perbedaan pendapat selalu jadi pangkal perdebatan yang ribut rusuh, dan tak berujung. Mana demokrasinya?

#septemberwrite #menulis30hari #30harimenulis #menulis #bedapendapat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mungkin Nanti

Dalam benakku, aku masih sangat memimpikan waktu di mana aku bisa pergi merantau lebih jauh lagi dari yang belum ada apa-apanya ini. Aku mendambakan berjuang menghidupi segala cita-cita dan impianku yang sudah aku rajut sejak lama dari masa ke masa. Namun sama seperti orang lain yang selalu saja memiliki masalah ketika ingin melangkah lebih jauh. Masalah itu adalah keresahanku yang muncul jika aku menciptakan jarak. Jarak itulah yang perlahan menggerogoti diriku dan berubah menjadi rasa takut. Dan lalu, hal yang paling aku takutkan ketika pergi jauh, tak lain adalah jika aku jatuh sakit. Aku akan sangat merindukan ibuku. Pasalnya, dulu aku sering sekali sakit, dan ketika seperti itu, sosok orang yang paling aku butuhkan mengurusi aku yang sedang terbaring sakit adalah ibuku. Selain itu juga sebaliknya, aku takut jika aku pergi jauh, aku akan rindu sekali padanya, terlebih lagi jika dia yang jatuh sakit. Seribukali memikirkan ini semua, seribukali juga keresahan serta keta

Selamat Datang di Mahligai Mimpi

Aku sedang merencanakan cara menggapai nyala tekad bak api abadi itu. Memilin satu per satu gundah gulana pengganggu sebagai bahan bakarnya. Mengubahnya jadi seribu satu alasan kenapa harus berdikari? Kita tidak sedang membicarakan hal-hal abstrak, apalagi sesuatu yang nihil.  Kalau kau bingung, dan masih dihantui resah gelisahmu, kau bebas berhenti.   Bukankah kau tidak terikat pada apapun sebenarnya saat ini. Bahkan pada norma yang selalu berusaha kau patuhi. Pun walau nyatanya kau hendak berpaling arah jalan untuk kesekian kalinya setiap menemui persimpangan, tentu saja tak ada yang salah dari itu. Bagaimanapun siasat, keputusan sepakatmu adalah sah dan benar dalam persepsimu. Aku percaya tak ada yang terlanjur basah. Setiap hal yang terjadi adalah tuntunan garis takdir. Semuanya memiliki riwayat yang beralasan. Meski mungkin dalam ketidaktahuan yang meraja. Camkan itu sebaik-baiknya, seingat-ingatnya. Kau cukup meyakini dengan penuh arti dan sa

Jodoh Pasti Bertemu

Selain masalah karir dan pencarian jati diri, perkara pasangan hidup, jodoh, ataupun menikah, adalah isu yang juga tak ketinggalan jadi sorotan utama bagi banyak orang dalam menjalani fase quarter life crisis pada rentang usia 25-30. Entah kenapa pada saat-saat itu, gejolak keresahan dan gundah gulana kehidupan begitu menggebu-gebu. Seolah segala gengsi dipertaruhkan jika hal-hal yang dianggap penting itu belum segera tercapai. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa perkara pasangan hidup, jodoh, dan ataupun menikah sering sekali jadi sorotan utama selain perihal karir. Ini mungkin terjadi karena pada usia-usia seperti itu, memang usia dominan orang-orang menikah. Dari kondisi inilah yang membuat orang resah mengenai bagaimana nasib dirinya kedepan, dan bertanya-tanya akan banyak hal yang berpotensi membuat keresahan-keresahan lainnya bermunculan, mulai dari pertanyaan semacam "Kapan nikah?", "Kapan punya anak?", "Kapan bisa punya rumah?", "Kapan p