Langsung ke konten utama

Ini Mungkin Depresi

Ada yang pernah bilang, kalau segala masalah hidup yang berhasil kita lewati, secara sadar dan tidak sadar akan membuat diri kita banyak belajar dan tentu pula menjadikan kita semakin dewasa dan matang dalam menyikapi sesuatu. Dengan syarat, kita mau membuka diri dan menerima kenyataan yang terjadi dengan berbesar hati. 

Tapi memberi komentar memang begitu mudah, apalagi mengomentari masalah orang lain, seolah-olah kita lah yang paling tahu solusi yang dibutuhkan orang lain, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ah kadang kita memang ngehek ya? Kurang kerjaan sekali rasanya.

Lain yang berkomentar, lain cerita pula yang diberi komentar. Ketika kita pada posisi orang yang sedang dirundung masalah, entah itu masalah yang pelik atau cuma masalah remeh-temeh. Kita sering menjadi keras kepala untuk diberi nasehat. Bahkan ketika sebelum sebuah masalah terjadi, acap kali kita diberi wejangan ini dan itu, namun kita seolah acuh, masa bodoh. Kita bersikap cuek dengan memegang prinsip hidup "just do it" atau "just go a head". Tentu ada banyak lagi prinsip prinsip bernada optimis lainnya.

Tak ada yang salah sebenarnya dengan bersikap optimis. Hanya saja, mungkin dengan porsi yang seimbang, tidak kurang dan tidak berlebihan pula. Sebab terlalu berekspektasi juga tidak baik, salah-salah kita jadi manusia jumawa. Lalu ketika apa-apa yang diinginkan pupus, hal itu bisa saja membuat kita terpuruk dalam kubangan penyesalan.

Dan pada fase inilah yang seringkali membuat orang rentan terhadap rasa sakit akibat tekanan-tekanan yang muncul  menyeruak, kesalahan yang terlanjur terjadi, kebaikan yang jarang atau malah tak kunjung menghampiri, membuat kita dilanda gelombang pesimistis. Bila sudah begini, apapun yang dilakukan rasanya tidak akan memberikan dampak yang baik, khususnya bagi diri sendiri.

Lalu apalagi? Entahlah, sulit untuk menerka-nerka bagaimana selanjutnya. Yang pasti hal buruk dan paling buruk sekalipun bisa saja terjadi jika jalan keluar tak juga ditemukan. Ini mungkin​ depresi.

#septemberwrite #menulis30hari #30harimenulis #menulis #depresi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mungkin Nanti

Dalam benakku, aku masih sangat memimpikan waktu di mana aku bisa pergi merantau lebih jauh lagi dari yang belum ada apa-apanya ini. Aku mendambakan berjuang menghidupi segala cita-cita dan impianku yang sudah aku rajut sejak lama dari masa ke masa. Namun sama seperti orang lain yang selalu saja memiliki masalah ketika ingin melangkah lebih jauh. Masalah itu adalah keresahanku yang muncul jika aku menciptakan jarak. Jarak itulah yang perlahan menggerogoti diriku dan berubah menjadi rasa takut. Dan lalu, hal yang paling aku takutkan ketika pergi jauh, tak lain adalah jika aku jatuh sakit. Aku akan sangat merindukan ibuku. Pasalnya, dulu aku sering sekali sakit, dan ketika seperti itu, sosok orang yang paling aku butuhkan mengurusi aku yang sedang terbaring sakit adalah ibuku. Selain itu juga sebaliknya, aku takut jika aku pergi jauh, aku akan rindu sekali padanya, terlebih lagi jika dia yang jatuh sakit. Seribukali memikirkan ini semua, seribukali juga keresahan serta keta

Selamat Datang di Mahligai Mimpi

Aku sedang merencanakan cara menggapai nyala tekad bak api abadi itu. Memilin satu per satu gundah gulana pengganggu sebagai bahan bakarnya. Mengubahnya jadi seribu satu alasan kenapa harus berdikari? Kita tidak sedang membicarakan hal-hal abstrak, apalagi sesuatu yang nihil.  Kalau kau bingung, dan masih dihantui resah gelisahmu, kau bebas berhenti.   Bukankah kau tidak terikat pada apapun sebenarnya saat ini. Bahkan pada norma yang selalu berusaha kau patuhi. Pun walau nyatanya kau hendak berpaling arah jalan untuk kesekian kalinya setiap menemui persimpangan, tentu saja tak ada yang salah dari itu. Bagaimanapun siasat, keputusan sepakatmu adalah sah dan benar dalam persepsimu. Aku percaya tak ada yang terlanjur basah. Setiap hal yang terjadi adalah tuntunan garis takdir. Semuanya memiliki riwayat yang beralasan. Meski mungkin dalam ketidaktahuan yang meraja. Camkan itu sebaik-baiknya, seingat-ingatnya. Kau cukup meyakini dengan penuh arti dan sa

Jodoh Pasti Bertemu

Selain masalah karir dan pencarian jati diri, perkara pasangan hidup, jodoh, ataupun menikah, adalah isu yang juga tak ketinggalan jadi sorotan utama bagi banyak orang dalam menjalani fase quarter life crisis pada rentang usia 25-30. Entah kenapa pada saat-saat itu, gejolak keresahan dan gundah gulana kehidupan begitu menggebu-gebu. Seolah segala gengsi dipertaruhkan jika hal-hal yang dianggap penting itu belum segera tercapai. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa perkara pasangan hidup, jodoh, dan ataupun menikah sering sekali jadi sorotan utama selain perihal karir. Ini mungkin terjadi karena pada usia-usia seperti itu, memang usia dominan orang-orang menikah. Dari kondisi inilah yang membuat orang resah mengenai bagaimana nasib dirinya kedepan, dan bertanya-tanya akan banyak hal yang berpotensi membuat keresahan-keresahan lainnya bermunculan, mulai dari pertanyaan semacam "Kapan nikah?", "Kapan punya anak?", "Kapan bisa punya rumah?", "Kapan p