Dulu aku pernah beranggapan bahwa dalam hidup ini harapan-harapan yang tumbuh untuk sebuah keinginan itu akan selalu ada di dalam relung hati. Dan mungkin akan terus bertambah dan beranak-pinak. Dari satu benih harapan, lalu ketika tumbuh besar jadilah ia pohon harapan, yang mewakili sekumpulan harapan-harapan kecil. Dari satu pohon harapan yang berhasil hidup, menjadi padang yang luas dari hamparan pohon-pohon harapan, begitu seterusnya, dan seterusnya.
Dan apalah arti walau hanya segenggam harapan saja namun tiada pernah ia menjadi buah kenyataan dari apa yang diinginkan. Tiada pernah ia menjadi pelipur lara dari sekian ribu duka juga luka yang tak terkira.
Hingga kemudian, harapan demi harapan yang pernah ada dan meraja hanya tinggal kenangan belaka. Dan apakah harapan itu mati begitu saja? Jawabannya tidak! Harapan itu tidak mati sebenarnya, ia tetap hidup bersemayam dalam bilik-bilik kecil sempit di dada dengan pijarnya yang redup. Ia mungkin bisa padam di waktu kapan saja, tapi tidak selama yakin dan percaya masih ada, dan itulah yang akan terus menjaganya. Ia masih tetap bisa menggelora dengan tekad membara.
Namun ketika waktunya tiba, harapan dari sepercik api kecil itu akan lenyap bersama gelap. Ia menjelma serupa mimpi-mimpi yang mati. Menjadi bagian dari potongan cerita penuh arti, hingga nanti ia dikisahkan kembali bahwa harapan itu punya peran tersendiri dengan perjalanan panjang yang tiada bertepi. Dan akhirnya aku tersadar, bahwa harapan adalah bagian dari obsesi, termasuk diriku sendiri.
Namun ketika waktunya tiba, harapan dari sepercik api kecil itu akan lenyap bersama gelap. Ia menjelma serupa mimpi-mimpi yang mati. Menjadi bagian dari potongan cerita penuh arti, hingga nanti ia dikisahkan kembali bahwa harapan itu punya peran tersendiri dengan perjalanan panjang yang tiada bertepi. Dan akhirnya aku tersadar, bahwa harapan adalah bagian dari obsesi, termasuk diriku sendiri.
#septemberwrite #menulis30hari #obsesi
Komentar
Posting Komentar
attention : jangan lupa, do'a dulu sebelum komen !