Langsung ke konten utama

Aku, Kopi, & Keluargaku

Aku tak pernah benar-benar punya ikatan emosional yang mendalam dengan kopi, apalagi untuk bisa akrab. Entahlah kurasa bukan waktu yang tepat saja, atau belum saatnya, mungkin juga memang tak akan pernah ada masanya.

Aku bukannya tak menyukai kopi. Bahkan jika aku ditanyai "kau suka kopi atau tidak?" Aku akan menjawab "ya tentu, aku suka kopi!" Dengan tanda seru untuk lebih menegaskannya.

Hanya saja, aku bukan bagian dari penggila kopi. Atau mereka yang merasa bagian dari penggila kopi, padahal ia minum kopi pun baru kemarin, nasib memang kalau ingin menang genggsi. Itu sebabnya aku tak pernah mau menyombongkan diri atau mengaku-ngaku sebagai pecinta kopi, apalagi untuk sebutan pecinta kopi sejati. Tapi setelah aku bertanya pada diriku, sendiri "apakah untuk jadi pecinta kopi mesti sudah ratusan atau ribuan kali menyeruput kopi? Setelah aku berpikir-pikir lagi, kurasa tak ada salahnya, jika pun ada orang-orang yang  baru saja mulai menikmat suguhan-demi suguhan hitam pekat itu. Dan merasa sudah menjadi pecintanya. Karena cinta memang tak bisa diterka kapan datangnya kan?

Dan aku baru ingat, bahwa bapakku adalah tipikal peminum kopi yang sering meminum kopi tiap pagi, siang, sore, juga malam hari. Dan dulu saat masih tinggal di rumah, sebelum bekerja di Kota seperti sekarang. Yang aku ingat bahwa setiap kali bapakku pergi bekerja meninggalkan kopinya tak habis di sebelah televisi berukuran 14 inch itu, aku selalu menyeruputnya setegak dua tegak ketika lewat di sekitarannya atau ketika aku sedang menoton. Dan pada akhirnya aku justru disuruh menghabiskan kopi di gelas itu, untuk kemudian​ diseduh kembali oleh mamakku atau sering juga adik-adikku.

Beberapa waktu lalu aku juga pernah sekilas membaca, namun entah di mana aku lupa. Bahwa untuk menikmati kopi, tak perlu lah ada filosofi ini filosofi itu, atau kalimat bijak sok mengenal arti hidup dan segala remeh-temeh lainnya. Tak perlulah itu semua. Cukup sediakan kopi, mau panas, hangat, dingin, apapun itu, asal siap diminum, ajak teman, saudara, dan atau keluarga, minumlah bersama, dan berbagi ceritalah. Gelak tawa, sedih, air mata, dan bahagia, semua melebur dalam suasana syahdu dan padu dari seruput demi seruput isi cawan. Dan darinya akan lahir beragam cerita, masalah, jawaban, jalan keluar, ide, gagasan, dan rencana.

Lalu perlahan dan kemudian rasakan maknanya, kedekatan, keakraban antara satu dan lainnya. Begitu seharusnya yang kita temui dalam romansa minum kopi.

Sepertinya aku harus mereka ulang pikiran dan pernyataanku. Bahwa ternyata aku memiliki ikatan emosional yang erat dan mendalam antara aku, kopi, dan keluargaku.

#septemberwrite #menulis30hari #30harimenulis #menulis #kopi

Komentar

  1. Jadi kapan abang punya ikatan emosional dengan lawan jenis? Orang yang nantinya akan bertugas membuatkan kopi untuk abang pada pagi sebelum abang berangkat kerja dan malam saat abang membantu mengurus buah hati yang rewel. Kapan bang?

    BalasHapus
  2. Begini sebenarnya aku agak menahan diri memberi respon pada anonim. Apalagi pertanyaan serius 😂

    Tp demi memberikan pernyataan yg jelas tetang pribadiku, aku akan jawab.
    Jika harus jujur aku tak tahu kapan?
    Bahkan seperti banyak penjelasan di internet bahwa perkara rezeki, maut, dan termasuk jodoh adalah rahasia tuhan. Jadi sudah jelas aku tak tahu dan hanya tuhan lah yg tahu kapan. Namu jika ditanya aku mau menikah atau.tidak, ya jelas mau.

    Jadi aku balik bertanya, kamu siapa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah jujur, abang.
      Aku hanya akhwat yang selalu ingin sekali membuatkan abang kopi namun masih menunggu gelasnya abang siapkan.

      Hapus
    2. Aduhhh bisa aja kamu 😂 Ini harus tanggung jawab loh, klo aku jadi penasaran gini wkwkwkwk

      Hapus

Posting Komentar

attention : jangan lupa, do'a dulu sebelum komen !

Postingan populer dari blog ini

Mungkin Nanti

Dalam benakku, aku masih sangat memimpikan waktu di mana aku bisa pergi merantau lebih jauh lagi dari yang belum ada apa-apanya ini. Aku mendambakan berjuang menghidupi segala cita-cita dan impianku yang sudah aku rajut sejak lama dari masa ke masa. Namun sama seperti orang lain yang selalu saja memiliki masalah ketika ingin melangkah lebih jauh. Masalah itu adalah keresahanku yang muncul jika aku menciptakan jarak. Jarak itulah yang perlahan menggerogoti diriku dan berubah menjadi rasa takut. Dan lalu, hal yang paling aku takutkan ketika pergi jauh, tak lain adalah jika aku jatuh sakit. Aku akan sangat merindukan ibuku. Pasalnya, dulu aku sering sekali sakit, dan ketika seperti itu, sosok orang yang paling aku butuhkan mengurusi aku yang sedang terbaring sakit adalah ibuku. Selain itu juga sebaliknya, aku takut jika aku pergi jauh, aku akan rindu sekali padanya, terlebih lagi jika dia yang jatuh sakit. Seribukali memikirkan ini semua, seribukali juga keresahan serta keta

Selamat Datang di Mahligai Mimpi

Aku sedang merencanakan cara menggapai nyala tekad bak api abadi itu. Memilin satu per satu gundah gulana pengganggu sebagai bahan bakarnya. Mengubahnya jadi seribu satu alasan kenapa harus berdikari? Kita tidak sedang membicarakan hal-hal abstrak, apalagi sesuatu yang nihil.  Kalau kau bingung, dan masih dihantui resah gelisahmu, kau bebas berhenti.   Bukankah kau tidak terikat pada apapun sebenarnya saat ini. Bahkan pada norma yang selalu berusaha kau patuhi. Pun walau nyatanya kau hendak berpaling arah jalan untuk kesekian kalinya setiap menemui persimpangan, tentu saja tak ada yang salah dari itu. Bagaimanapun siasat, keputusan sepakatmu adalah sah dan benar dalam persepsimu. Aku percaya tak ada yang terlanjur basah. Setiap hal yang terjadi adalah tuntunan garis takdir. Semuanya memiliki riwayat yang beralasan. Meski mungkin dalam ketidaktahuan yang meraja. Camkan itu sebaik-baiknya, seingat-ingatnya. Kau cukup meyakini dengan penuh arti dan sa

Jodoh Pasti Bertemu

Selain masalah karir dan pencarian jati diri, perkara pasangan hidup, jodoh, ataupun menikah, adalah isu yang juga tak ketinggalan jadi sorotan utama bagi banyak orang dalam menjalani fase quarter life crisis pada rentang usia 25-30. Entah kenapa pada saat-saat itu, gejolak keresahan dan gundah gulana kehidupan begitu menggebu-gebu. Seolah segala gengsi dipertaruhkan jika hal-hal yang dianggap penting itu belum segera tercapai. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa perkara pasangan hidup, jodoh, dan ataupun menikah sering sekali jadi sorotan utama selain perihal karir. Ini mungkin terjadi karena pada usia-usia seperti itu, memang usia dominan orang-orang menikah. Dari kondisi inilah yang membuat orang resah mengenai bagaimana nasib dirinya kedepan, dan bertanya-tanya akan banyak hal yang berpotensi membuat keresahan-keresahan lainnya bermunculan, mulai dari pertanyaan semacam "Kapan nikah?", "Kapan punya anak?", "Kapan bisa punya rumah?", "Kapan p